Banyak yang yakin bahwa disamping IoT yang tersambung didalam jaringan komunikasi M2M dan pencetakan 3D, perlahan akan mempengaruhi kehidupan manusia dimasa mendatang, atau dalam beberapa hal telah terjadi dan mungkin terjadi dalam waktu dekat. Peran pemikiran Open Source yang berkembang dengan bantuan Internet, telah menjabarkan demokrasi terhadap penyampaian Ilmu Pengetahuan ke masyarakat skala global. Hal ini merupakan salah satu faktor yang menjadi penyebab derasnya alih teknologi, ide, dalam mencipatakan produk-produk baru yang lebih efisien, lebih ramah lingkungan, dan dalam waktu yang lebih singkat. Salah satunya, adalah upaya para ilmuwan yang saat ini bekerja berdasarkan ide pencetakan (printer) 3D.
Rumah yang layak merupakan kebutuhan vital umat manusia, yang pada saat ini tidak terjangkau untuk semuamya. Dibandingkan dengan produk industri manufaktur, termasuk otomotif yang jauh lebih rumit, perumahan masih harus dibangun secara manual dan membutuhkan sumber daya dan waktu yang lama. Salah satu solusinya adalah pencetakan 3D.
Dalam penelitian yang saat ini sedang berlangsung, sebuah rumah dua lantai dapat dicetak dalam kurun waktu 24 jam, menggunakan sebuah printer 3D raksasa. Cara yang sama mungkin nantinya diterapkan dalam membangun perumahan di Mars, saat pada umat manusia bermigrasi ke planet tersebut.
Seiiring dengan kemajuan teknologi, konsep printer 3D senantiasa ditularkan ke wilayah-wilayah baru. Teknologi ini digunakan untuk membuat segala benda tiga dimensi, mulai dari makanan, sepatu, komponen industri, suku cadang dan apa saja yang dimungkinkan, selaras dengan kemajuan teknologi. NASA juga sedang menyiapkan printer 3D yang recananya dikirim tahun ini ke stasiun angkasa luar untuk digunakan mencetak suku cadang yang sesuai dengan kebutuhan di angkasa luar. Bahkan rumah-rumah yang seluruhnya dicetak akan segera muncul, dibuat menggunakan teknologi cetak 3D. Hal terakhir sudah lama merupakan visi Behrokh Khoshnevis, seorang profesor di University of Southern California.
Selama bertahun-tahun Khoshnevis bekerja pada metode pencetakan yang disebut "Contour Crafting", yang telah memenangkan penghargaan "Hall of Fame" sebagai penemu dan juga penghargaan dari badan antariksa NASA. Menggunakan metode yang diciptakan sang profesor, di masa depan dimungkinkan untuk mencetak dengan "tinta" atau bahan baku beton untuk membangun sebuah rumah, lapis demi lapis.
"Saat ini banyak hal yang dibuat secara mekanis dan otomatis, jadi mengapa tidak juga untuk seluruh bangunan ?", kata Khoshnevis dalam kesempatan berbicara di platform Rt.com. Metodologi dan proses pencetakan tidak jauh berbeda dari printer 3D biasa, namun dimensinya yang menjadi jauh lebih besar. Untuk memulai pencetakan rumah, diperlukan area yang diratakan dan luasnya memungkinkan untuk memasang printer 3D raksasa tersebut. Setelah langkah ini dilakukan, pencetakan struktur rumah dapat diselesaikan hanya dalam 24 jam.
Walaupun sekarang masih sebuah mimpi, tapi Khoshnevis memiliki rencana jauh kedepan: "Metode saya juga bisa digunakan di ruang angkasa, misalnya untuk membangun perumahan bagi koloni manusia di Mars atau di Bulan," kata sang profesor.
Di Eropa, tepatnya di negara kincir angin Holland, juga telah memiliki niat serupa. Perusahaan arsitektur asal Belanda DUS menggunakan teknologi cetak 3D untuk membangun rumah tradisional Grachtenhaus pada sebuah kanal di Amsterdam. Untuk itu diberdayakan versi besar dari printer open source Ultimaker. Sebagai bahan baku disini digunakan bukannya beton, melainkan plastik daur ulang yang keras. Namun, tercermin dari karakter orang Belanda yang lebih santai, rumah yang terdiri dari 12 kamar tersebut mulai dicetak sejak bulan April tahun lalu, dan rencananya baru akan rampung dalam tahun ini.
Dalam rencana, arsitek Janjaap Ruijssenaars asal Amsterdam, Belanda juga mengungkapkan niatnya untuk membangun rumah yang "tidak ada ujung dan pangkalnya" seluas 12.000 kaki persegi, menggunakan mesin cetak 3D raksasa.